Diposting oleh
oka prasetia
Kulihat jarum jam sudah menunjukan pukul 11.25. masih ada kira-kira setengah jam lagi masuk waktu shalat jum’at. Hari itu sekolahku libur. Biasanya aku selalu shalat jum’at di mesjid dalam sekolah. Namun kali ini aku berinisiatif untuk shalat jum’at di Mesjid Agung Ciamis, sambil nanti sepulangnya aku berencana membeli jajanan yang berjajar di Alun-alun dan setelah itu singgah dulu di warnet untuk mencari bahan tugas mata pelajaran fisika.
Selesai bersiap-siap aku bergegas keluar rumah menuju ke balik pintu untuk mengambil sepasang sandal dengan merk Ardiles dengan corak yang sangat unik yang dibelikan oleh Ibu.
Aku diajak oleh Ibu dan adikku Annisa Yuliani Nurjannah ke sebuah toko sandal untuk membelikan aku dan adikku sepasang sandal baru sebelum lebaran. Aku yakin pasti ibu membeli sandal tersebut dengan harga yang lumayan mahal, karena terlihat dari bahannya, coraknya, serta kekuatannya. Namun aku tidak tahu persis berapa nominalnya, sebab saat membelinya aku, Ibu dan adikku di sebuah toko yang ku yakin barang-barang dagangannya berkualitas bagus, Ibu malah menyuruhku untuk mengambil kupat tahu pesanan Ibu di abah Komon.
“Sudah man kamu ambil dulu kupat tahu pesanan ibu di abah komon. Ibu janji deh akan pilihkan sandal yang paling baru untukmu lebaran ini.” Kata ibu sambil memegang pundakku. “Iya A mungkin kupat tahunya sudah jadi tadi, nanti keburu Asem kalau lupa dibiarkan, biar Neng yang temani ibu.” Sahut Neng menambahkan. Ya kami sekeluarga memang akrab memanggilnya dengan sapaan Neng, tetapi kebanyakan teman-temannya akrab dengan sapaan Yuli, Nisa, Anis, atau Nur.
Setelah sampai di rumah hanya beberapa menit lagi menjelang buka puasa, aku dan adikku duduk di depan meja makan. Sejenak aku berbisik pada adikku.
“Neng, tadi kamu tahu berapa harga sandal AA yang ibu beli?”
“Ih AA, bodoh banget sih! Kan ada labelnya juga ya tinggal di lihat, makanya kalau punya barang teliti!”
“Bukannya gitu, tadi udah AA buka tapi labelnya udah gak ada, mungkin sudah dicopot sama ibu, mungkin ibu tidak mau AA tau harganya, kamu tau gak?”
“Ya mungkin lumayan mahal, karena sandal AA lebih bagus kualitasnya dibanding sandal Neng, dan harga sandal neng tadi Rp.60.000. ya mungkin punya AA sekitar Rp.80.000.”
“Subhanallah, betapa beruntungnya aku mempunyai Ibu sebaik itu.” gumamku dalam hati. Betapa baiknya ibu membelikanku sandal yang begitu bagus kualitasnya. Mungkin aku akan sangat menyesal bila suatu saat sandal itu hilang entah kemana. Apalagi sandal yang ibu belikan ini selain sebagai hadiah lebaran juga sebagai hadiah special bagiku, karena aku telah menjadi juara kelas tahun ajaran kemarin. Hanya saja ibu tidak membelikanku langsung, mungkin dulu ibu belum punya uang yang cukup membeli sandal semahal ini.
“hati-hati man punya sandal baru, sekarang banyak orang iseng mencuri sandal di mesjid jika sedang tarawih.” tiba-tiba bapak datang pulang dari kebun sambil membawa cangkul.
“oh tenang pak, sandal ini akan lukman mulai pakai ketika lebaran, untuk sekarang pakai sandal yang dulu aja.”
“kasihan lho ibumu jika nanti sandalnya hilang, hati-hati sandal mahal itu.” Aku hanya tersenyum mendengar nasihat bapak itu.
***
Dengan niat di dalam hati kuyakinkan langkahku untuk beribadah ke rumah Allah tersebut. Siang itu langit sangat cerah dengan sedikit awan dan panasnya terik matahari, namun semua itu seakan hilang dimakan oleh semilir hembusan angin yang melambai-lambaikan daun-daun di pepohonan yang lebat.
Sesampainya di halaman mesjid, kulihat sudah banyak orang di dalam dan di bawah pintu sampingpun penuh dengan sandal dan sepatu yang berserakan. Tanpa ragu kusimpan sandalku di jajaran paling kanan. Segera ku masuk dan shalat sunat tahiyyatul masjid. Khotib mulai naik dan membacakan khutbah dan aku masih ingat judulnya “CINTA KEPADA ALLAH DAN RASULNYA HARUS MELEBIHI CINTA KITA TERHADAP MAKHLUK CIPTAANNYA”.
Selesai shalat jum’at aku ingin berjalan-jalan di sekitar dalam mesjid, kulihat bangunan megah ini membuatku terpana. Dalam hati aku bertanya berapa uang yang dibutuhkan untuk membangun mesjid ini, dan siapa arsiteknya, yang membuat bangunan ini terlihat elegan.
Perlahan aku berjalan ke pintu depan. Nampaknya banyak rombongan pariwisata yang istirahat di teras depan mesjid ini. Sejenak kupandangi mereka semua, ada kira-kira empat rombongan bus. Namun aku menangkap wajah seorang perempuan berpakaian putih dengan rok dan jilbab hijau muda sedang duduk menyandar di tiang mesjid sambil memandangi handphonenya. Kuteliti sebentar dan nampaknya wajah itu sudah tak asing bagiku. Ya! Itu adalah Aisyah Rahmawati Nurpratiwi, teman sekelas waktu di MTs dulu. Kami memang sangat akrab dan bias dipastikan dialah teman perempuanku yang paling dekat.
“Assalamu’alaikum de.”
“Wa’alaikumsalam. Eh A lukman, silahkan duduk. kaget aku kok ada disini?”
“Yang ada malah aku yang kaget kok dede ada disini?” Aku memang selalu menyapa dia dengan Dede dan sebaliknya diapun menyapaku AA. Padahal usia kami hanya berbeda tiga bulan, dan aku lebih tua. Hal itu disebabkan karena kedekatan kami banyak teman-teman yang iseng mencap kami ade-kakak, malah ada juga yang menyangka bahwa kami pacaran. Tapi dari itu semua, sekalian tanggung kami menyapa masing-masing AA-Dede, karena kami anggap itu lebih sopan daripada menyebut nama langsung.
“Ini A, Aku diminta ibu untuk mewakilinya dalam pariwisata PGRI Kecamatan Cijulang ke situ lengkong di Panjalu. Ibu tidak bisa karena beliau sakit. Tapi ongkos yang sudah dibayar ibu tidak bisa dikembalikan jadi aku diminta untuk menggantikannya sembari mencari pengalaman. Lagian sekolahku sudah libur sejak Kamis karena rapat guru.”
“oh, seru dong di situ lengkong!?”
“Ya lumayan sih, tapi aku takut banget pas mau nyebrang ke makam raja.”
“Ah kamu de, dasar gak bisa berenang.”
“Dasar!” Kulihat wajahnya yang cemberut dengan sedikit senyum menghiasi garis wajahnya dalam balutan jilbab hijau muda. Memang kali ini dia jauh lebih cantik dari biasanya jika aku bertemu saat pulang kampung. Tapi dia memang pujaan banyak pria, sampai-sampai ibukupun memuji kecantikannya saat kerumahku waktu lebaran kemarin. Dan ibu juga berharap dia kelak akan menjadi istriku karena akhlak dan tatakrama dalam berpakaiannya yang baik. Bapak juga sering bergurau padaku “Man kayaknya jika kalian sudah dewasa kalian cocok, dan serasi, tingginya saja hanya beda 5 cm. bapak akan mengadakan syukuran besar-besaran se-desa Man jika kamu bias nikahi dia nanti.” Ah bapakku ini memang suka bercanda. Namun kusingkirkan dahulu angan-angan ibu dan bapakku itu supaya tidak menjadi beban dalam hidupku. Karena ku yakin jika telah ditentukan dia adalah jodohku pasti akan menjadi istriku kelak.
“Sudah dulu ya A, kayaknya rombongan sudah mau berangkat lagi, aku haru segera ke bis.”
“Oh iya silahkan, semoga selamat sampai di rumah.”
“Terimakasih A! Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan. Sampaikan salamku untuk Ibumu, semoga cepat sembuh.”
Kuamati cara dia melangkah, kupandangi setiap langkahnya. Sungguh anggun seorang wanita muslimah jika berjalan dengan memakai jilbab laksana seorang bidadari. Kini gadis yang sangat dipuji bapak dan ibuku itu perlahan masuk ke kerumunan ibu-ibu dan mulai tidak jelas karena banyak yang menggunakan pakaian yang sama.
Kulihat jarum jam sudah menunjukan pukul 13.00. aku harus segera bergegas ke warnet. Aku menuju ke pintu samping dan mengmbil sandalku.
Aku sangat kaget! Tidak ada sepasang sandalpun di bawah pintu samping! Sejenak pikiranku kosong dan mulai putus harapan. Aku bergegas ke tempat wudhu di WC dan mencarinya, mungkin ada orang yang memakainya kesana. Tapi tidak ada seorangpun yang wudhu di sana, hanya seorang penjaga WC saja yang ada.
“Kang tadi lihat sepasang sandal gak di tangga bawah pintu? Mungkin akang tadi beres-beres di sana dan menemukan sepasang sandal?”
“Dari tadi selesai shalat jum’at saya disini jang gak beres-beres disana, tugas saya hanya menjaga WC.”
“Oh, gini kang sandal saya tadi sebelum jum’atan disimpan disana dipojok kanan, tapi tadi saya diam di depan sebentar lalu mau mengambil sandal saya tapi sudah tidak ada sepasang sandalpun disana”
“Ya inilah yang namanya kota jang, banyak orang yang iseng mencuri. Makanya jang kalau punya barang yang kira-kira penting jangan disimpan sembarangan. Di teras depan mesjid kan ada tempat penitipan barang, harusnya ujang menitipkannya disana.”
“Oh iya kang terimakasih.” Mendengar nasihat lelaki yang kira-kira usianya 40 tahun tersebut aku jadi teringat akan pesan bapak “hati-hati man punya sandal baru, sekarang banyak orang iseng mencuri sandal di mesjid jika sedang tarawih.” Lalu satu lagi yang membuatku sangat menyesal karena aku hanya menganggapnya nasihat biasa “kasihan lho ibumu jika nanti sandalnya hilang, hati-hati sandal mahal itu.”
Segera kucari lagi di sekeliking mesjid, kuulangi melewati tempat yang sama sampai beberapa kali untuk memastikan jika sandal itu dipinjam sebentar oleh seseorang. Namun selama setengah jam aku mencari hasilnya percuma, aku tak melihat sandal itu.
Aku sudah putus harapan mencari sandal itu. Aku sangat sedih kehilangan sandal itu. Apalagi itu adalah hadiah yang paling istimewa dari Ibu karena aku telah menjadi juara kelas. Padahal Ibu sudah besusah payah memberikan yang terbaik bagiku. Namun aku tidak benar menjaga amanah dari Ibu itu. Sedikit air mataku meleleh. Aku berfikir bagaimana perasaan Ibu jika tahu sandal yang dibelikannya secara susah payah hanya bertahan sekitar tiga bulan.
Oh Ibu, maafkan aku. Maafkan anakmu yang tak bisa menjaga pemberianmu ini. Ya Allah sesungguhnya aku sangat sedih telah mengecewakan ibuku.
Segera kuusap air mataku. Tak ada gunanya jika aku terus menangis tak akan membuat sandal tersebut kembali lagi. Kucoba tuk menenangkan hati, jika nanti aku pulang kampong aku akan mencoba jujur kepada Ibu, mungkin ibu juga akan memaklumi dan memaafkan, karena setidaknya aku telah jujur kepada Ibu tentang hal itu.
Oh iya aku lupa. Aku harus segera ke warnet secepat mungkin untuk menyelesaikan tugas Fisika
Cerpen Penggugah Jiwa Sepasang Sandal Dari Ibu
Oleh Oka Prasetia